
Setelah viralnya grup Facebook bernama Fantasi Sedarah yang diduga memuat konten berbau inses dan bertentangan dengan nilai sosial serta hukum, sejumlah pihak menyuarakan kecaman dan dorongan agar kasus ini ditindak tegas. Grup ini memicu keresahan publik karena dianggap menormalisasi tindakan yang merusak nilai-nilai keluarga dan membahayakan perempuan serta anak-anak.
1. Komnas Perempuan Desak Polisi Bertindak
Komnas Perempuan menyatakan keprihatinan mendalam atas munculnya komunitas seksual menyimpang di platform digital seperti Facebook. Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, mendorong aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Meski grupnya sudah ditutup, tetap bisa dilacak siapa adminnya, siapa pengelolanya. Penegakan hukum harus dilakukan agar tak muncul grup serupa lagi,” kata Yuni saat menghadiri kegiatan di Jakarta Timur (17/5/2025).
Ia menegaskan bahwa jika pelaku tidak dihukum, akan ada kecenderungan komunitas menyimpang semacam itu terus bermunculan. Terutama karena media sosial bisa dengan mudah menjadi wadah penyebaran konten-konten menyimpang yang menyasar kelompok rentan seperti anak perempuan.
2. Komnas Perempuan Dorong Pembentukan Ruang Aman di Keluarga
Selain penindakan hukum, Komnas Perempuan juga menyerukan pentingnya peran keluarga sebagai ruang aman bagi perempuan dan anak. Yuni menyoroti bahwa pelecehan seksual justru kerap terjadi di lingkungan keluarga, dan hal inilah yang bisa menjadi akar tumbuhnya komunitas-komunitas menyimpang seperti grup inses.
“Keluarga tidak boleh jadi tempat yang melanggengkan kekerasan dan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan,” ujarnya.
Menurutnya, kesadaran masyarakat tentang pentingnya keselamatan anak dan perempuan di dalam rumah tangga perlu terus ditingkatkan agar budaya kekerasan dan dominasi tidak terus berkembang.
3. Kementerian PPPA Kecam dan Laporkan Grup Inses
Sikap serupa datang dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Sekretaris KemenPPPA, Titi Eko Rahayu, menyebut pihaknya telah berkoordinasi dengan Polri, khususnya Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO), untuk melaporkan dan menangani grup tersebut.
“Kami mengecam keras keberadaan grup yang menormalisasi tindakan inses. Ini sangat membahayakan perempuan dan anak-anak,” tegas Titi dalam keterangannya (18/5/2025).
4. Tegaskan Pentingnya Proses Hukum
Titi menegaskan bahwa bila ditemukan pelanggaran hukum, maka proses hukum harus dilakukan untuk memberi efek jera dan melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dari dampak konten seksual menyimpang.
Ia menyebut diskusi dan unggahan dalam grup tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal berdasarkan sejumlah undang-undang, seperti:
-
UU ITE No. 19 Tahun 2016
-
UU Pornografi No. 44 Tahun 2008
-
UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
Titi juga menyebut bahwa grup dengan konten menyimpang ini tidak hanya amoral, tapi juga merusak persepsi sehat tentang hubungan keluarga.
5. Minta Facebook Bertindak Cepat
KemenPPPA juga mendesak pihak Facebook untuk memberikan respons cepat terhadap keberadaan konten bermuatan eksploitasi seksual. Titi menekankan bahwa penyedia platform digital memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjaga ruang digital tetap aman, khususnya bagi anak-anak.
Ia juga menyoroti pentingnya edukasi literasi digital bagi anak dan orang tua agar lebih bijak menggunakan media sosial. Melalui kampanye bersama LSM dan relawan, KemenPPPA terus mendorong keluarga untuk berdiskusi soal aturan internet dan bagaimana cara melaporkan konten tidak layak.
Penutup
Kasus ini menjadi pengingat bahwa ruang digital bukanlah tempat bebas tanpa aturan. Upaya perlindungan perempuan dan anak harus dilakukan secara menyeluruh, mulai dari edukasi hingga penegakan hukum. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan penyedia platform digital sangat diperlukan untuk memastikan dunia maya tetap menjadi tempat yang aman bagi semua.
Refrence: liputan6