Jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh kembali meningkat. Jika pada Jumat (5/12/2025) tercatat 857 korban, kini jumlahnya naik menjadi 914 orang.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menjelaskan rincian korban tewas. Di Aceh terdapat 359 korban, meningkat 14 jiwa dari data sebelumnya. Sementara itu, Sumatera Utara mencatat 329 korban, dan Sumatera Barat sebanyak 226 korban.
Selain korban meninggal, BNPB juga memperbarui data korban hilang. Jumlahnya kini turun menjadi 389 orang, dari sebelumnya 521. Menurut Muhari, penurunan ini terjadi karena beberapa orang yang sebelumnya dilaporkan hilang akhirnya ditemukan dalam keadaan selamat.
Ia berharap jumlah korban hilang terus berkurang, dan memastikan bahwa tim gabungan di lapangan masih melakukan pencarian tanpa henti.
Penyebab Utama Banjir Besar di Sumatera
Bencana banjir dan longsor yang terjadi sejak 24 November 2025 ini bukan hanya disebabkan oleh curah hujan ekstrem. Menurut Muhammad Rais Abdillah, Ketua Program Studi Meteorologi ITB, terdapat tiga faktor besar yang memicu bencana:
-
Atmosfer sangat aktif
Wilayah Sumatera bagian utara sedang berada pada puncak musim hujan dengan curah hujan yang mencapai 150–300 mm per hari. -
Kerusakan lingkungan
Penurunan daya resap tanah akibat perubahan fungsi lahan membuat air tidak terserap optimal. -
Kapasitas tampung wilayah melemah
Banyak daerah kehilangan kemampuan alami dalam menahan limpasan air.

Rais juga menjelaskan bahwa terbentuknya Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka turut memperkuat pembentukan awan hujan dan menambah suplai uap air. Fenomena atmosfer seperti vortex, cold surge, dan sistem skala meso memperparah intensitas hujan.
Faktor Geospasial yang Memperburuk Banjir
Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, menekankan bahwa dampak banjir tidak hanya ditentukan oleh curah hujan, tetapi juga kemampuan daratan dalam mengelola air.
Ia menjelaskan bahwa wilayah berhutan memiliki kemampuan infiltrasi tinggi. Namun ketika area tersebut berubah menjadi permukiman, perkebunan intensif, atau lahan terbuka, kemampuan tanah untuk menyerap air menurun drastis.
“Ketika penahan air alami hilang, limpasan meningkat, dan air cepat mengalir ke sungai, memicu banjir besar,” ujarnya.
Heri juga menilai bahwa peta bahaya banjir di Indonesia masih belum akurat, sehingga perencanaan tata ruang berbasis risiko belum optimal. Ia menegaskan bahwa data geospasial yang lebih lengkap diperlukan untuk mencegah bencana serupa di masa mendatang.
Refrence : Liputan6