
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) selama ini dikenal sebagai teknologi masa depan yang mampu merevolusi berbagai sektor—dari kesehatan, pendidikan, hingga industri. Namun di balik semua manfaat dan kemudahan yang ditawarkannya, AI menyimpan potensi ancaman yang tak bisa diabaikan. Layaknya pisau bermata dua, AI bisa menjadi alat bantu sekaligus senjata berbahaya di tangan pihak yang salah.
Menurut Alfons Tanujaya, Ketua Komtap Cyber Security Awareness, perkembangan pesat AI adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Ia menegaskan bahwa persaingan di antara raksasa teknologi seperti Google dan OpenAI memicu percepatan luar biasa dalam pengembangan AI. Negara-negara besar pun tak mau ketinggalan, berlomba menciptakan sistem AI yang semakin canggih dan adaptif.
Namun, kemajuan tersebut memunculkan konsekuensi serius: batas antara kenyataan dan manipulasi menjadi semakin tipis. AI kini mampu menciptakan konten audio, visual, dan teks yang sangat meyakinkan—bahkan sulit dikenali sebagai rekayasa, meskipun oleh ahli IT sekalipun.
Kejahatan Digital Berbasis AI: Deepfake, Voice Cloning, dan Rekayasa Sosial
Salah satu bentuk penyalahgunaan AI yang paling mencolok adalah deepfake dan voice cloning. Teknologi ini memungkinkan pelaku mengganti wajah dan meniru suara seseorang dalam video atau audio, menciptakan identitas palsu yang seolah-olah asli. Fitur-fitur seperti face changing dan voice changing sangat mudah diakses, dan sering digunakan untuk menipu korban dengan narasi palsu.
Menurut Alfons, ancaman kejahatan digital berbasis AI semakin nyata. “Konten palsu kini bisa dibuat dengan sangat halus dan realistik. Bahkan pakar teknologi pun sering kesulitan membedakan mana yang asli dan mana yang buatan AI,” tegasnya.
Namun ia menambahkan bahwa keberhasilan penipuan digital bukan hanya karena kualitas konten AI, melainkan karena skema rekayasa sosial yang digunakan. Pelaku kejahatan memanfaatkan psikologi korban—membangun kepercayaan, menciptakan rasa aman, dan menipu dengan pendekatan yang sangat personal.
Sistem Hukum Tertinggal, Penegakan Lemah
Masalah lain yang tak kalah penting adalah lambatnya sistem hukum dalam menanggapi perkembangan AI. Menurut Alfons, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa pun belum sepenuhnya siap. Di Indonesia, proses penyusunan dan implementasi regulasi tergolong sangat lambat, sementara teknologi terus melaju tanpa henti.
Alfons menekankan bahwa solusinya bukan sekadar menambah regulasi, tetapi memperkuat kualitas penegakan hukum. Ia menyayangkan masih banyaknya laporan kejahatan digital yang tidak ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian. Kasus kebocoran data, penipuan rekening palsu, hingga eksploitasi identitas seringkali tidak mendapatkan penanganan yang serius.
Apa yang Bisa Dilakukan Masyarakat?
Alfons mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada dan kritis terhadap setiap konten yang diterima. Jangan mudah percaya dan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Bila ragu, lebih baik mengecek ke sumber berita resmi atau platform terpercaya.
“Jangan main sebar, apalagi informasi mencurigakan. Bisa jadi itu hoaks atau konten AI yang sengaja dibuat untuk menipu,” jelas Alfons.
Ia juga menyerukan agar bank dan lembaga keuangan memperketat sistem verifikasi identitas atau KYC (Know Your Customer). KTP palsu yang digunakan untuk membuka rekening harus bisa dideteksi, dan pelaku harus diberi sanksi tegas. Bahkan masyarakat yang meminjamkan identitas untuk kejahatan digital seharusnya juga bisa dikenai hukuman.
Kesimpulan
Kecerdasan buatan memang menjanjikan banyak hal baik. Namun jika tidak dikendalikan, AI bisa menjadi senjata ampuh di tangan pelaku kejahatan. Perlu kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan penyedia layanan digital untuk menjaga ruang siber tetap aman. Pengetahuan, skeptisisme, dan hukum yang adaptif adalah kunci menghadapi sisi gelap AI di era digital ini.
Refrence : Liputan6