Penolakan pembayaran tunai kini menjadi isu yang semakin sering diperbincangkan. Di banyak kota besar, khususnya pada gerai modern, metode pembayaran cashless seperti kartu debit/kredit atau QRIS justru diprioritaskan, bahkan kadang dijadikan satu-satunya opsi. Fenomena ini menciptakan polemik baru di tengah masyarakat. Di satu sisi, digitalisasi pembayaran menawarkan efisiensi, kecepatan, dan rekam transaksi yang lebih rapi. Namun di sisi lain, ada konsekuensi sosial dan ekonomi ketika kebijakan nontunai diterapkan secara sepihak dan menyingkirkan hak konsumen untuk membayar dengan Rupiah fisik. Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, menilai isu ini sudah memasuki tahap yang tidak bisa diabaikan. Ia menegaskan bahwa kritik publik semakin banyak, tanda bahwa keresahan ini nyata dan meluas. Menurutnya, jika dibiarkan tanpa penegakan aturan, wibawa negara hukum bisa ikut terkikis. Bukan hanya soal metode bayar, tetapi soal bagaimana undang-undang ditegakkan di ruang publik—dari toko roti hingga restoran besar.

UU Mata Uang 2011: Wajib Terima Rupiah
Dasar hukum polemik ini bukan asumsi, melainkan aturan eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, kecuali jika ada keraguan terhadap keasliannya. Artinya, gerai tidak boleh membuat aturan internal yang menghapus opsi pembayaran tunai begitu saja. Jika uang tunai dicurigai palsu, maka pihak yang menuduh wajib membuktikan, bukan sekadar menolak di kasir.
Saleh menilai aturan ini bukan sekadar teks hukum, tetapi juga instrumen penting dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Ketentuan tersebut, bila dilanggar, memiliki konsekuensi hukum. Oleh sebab itu, DPR mendorong agar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Penolakan tunai yang menjamur bukan hanya berpotensi merugikan konsumen, tetapi juga bisa merusak kepercayaan publik terhadap aturan negara.
Viral Lansia Ditolak Bayar Tunai: Alarm Sosial
Baru-baru ini, beredar video viral seorang konsumen lansia ditolak saat hendak membayar tunai di sebuah toko roti. Peristiwa itu terjadi di halte Transjakarta kawasan Monas pada 18 Desember 2025. Dalam video tersebut, seorang pria memprotes kebijakan toko roti yang mewajibkan pembayaran lewat QRIS. Banyak netizen menilai kejadian ini bukan kasus tunggal, melainkan contoh nyata bahwa kebijakan cashless yang dipaksakan bisa menciptakan diskriminasi transaksi bagi sebagian masyarakat—terutama kelompok yang tidak familiar dengan teknologi digital.
Saleh juga mengaku sering mengalami situasi serupa di beberapa restoran dan gerai. Menurutnya, alasan “aturan dari atasan” bukan pembenaran yang sah, karena atasan mereka bukan lembaga pembuat undang-undang, melainkan warga negara biasa yang tidak berhak membuat aturan yang mengikat publik di luar ketentuan negara. Jika semua orang bisa membuat aturan pembayaran sendiri-sendiri, maka sistem ekonomi bisa menjadi kacau, dan kekuatan hukum negara akan melemah.
Dampak Ekonomi Jika Penolakan Tunai Terus Meluas
Digitalisasi pembayaran memang tidak dilarang. Bahkan negara sendiri mendukung pembayaran nontunai lewat QRIS sebagai bagian dari inovasi sistem transaksi nasional. Tetapi, dukungan pada inovasi tidak sama dengan izin menolak tunai. Menolak Rupiah fisik berarti menolak alat pembayaran yang diakui negara. Dan ini bisa berdampak luas, terutama bagi perputaran ekonomi harian di sektor UMKM, pasar tradisional, hingga daya beli masyarakat yang belum memiliki akses perbankan atau teknologi digital.
Banyak konsumen akhirnya batal bertransaksi karena tidak memiliki kartu atau ponsel yang mendukung QRIS. Kondisi ini menimbulkan gesekan baru: orang tidak jadi belanja bukan karena tidak mau, tetapi karena sistemnya menutup akses mereka. Jika terus dibiarkan, hal ini bisa mengganggu stabilitas konsumsi, menurunkan transaksi spontan, dan menghambat perputaran modal di level mikro—yang justru menjadi fondasi ekonomi nasional.
DPR Dorong Penegakan, Bukan Menolak Teknologi
DPR menekankan bahwa isu ini bukan perlawanan terhadap teknologi digital, tetapi perlawanan terhadap praktik menolak pembayaran tunai secara sepihak. Negara harus hadir untuk menengahi, menegakkan aturan, dan memastikan inovasi tidak menciptakan jurang baru dalam transaksi. Menurut Saleh, pihak yang memerintahkan pembayaran hanya cashless perlu diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban, karena berpotensi melanggar UU Mata Uang 2011.
Menurutnya, aturan negara tidak boleh kalah oleh aturan internal gerai. Karena jika itu terjadi, bukan hanya metode bayar yang terganggu, tetapi juga prinsip hukum dan ekonomi Republik Indonesia. Mitchell menutup pernyataannya dengan refleksi tegas bahwa penolakan tunai bisa berdampak negatif pada kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik—karena menyangkut hak publik dan kedaulatan mata uang negara.
Refrence : Liputan6