Habiburokhman Kasus Guru Cubit Murid Tak Selalu Perlu ke Pengadilan

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyoroti pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum dan rasa keadilan sosial. Ia menegaskan bahwa tidak semua pelanggaran hukum, terutama yang bersifat ringan, harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Hal ini disampaikan saat ia menerima perwakilan Aliansi Mahasiswa Nusantara (AMAN) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas rencana revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), termasuk penguatan konsep restorative justice di Indonesia.
Habiburokhman mencontohkan salah satu kasus yang menurutnya tidak proporsional bila langsung dibawa ke ranah pidana — seperti kasus guru yang dipidana karena mencubit atau menjewer murid yang nakal.
“Sekarang aja ada guru cubit murid jadi pidana, guru jewer murid jadi masalah. Dulu kita dipukul pakai penggaris kayu besar, tapi jadi tertib dan malah hafal doa,” ujarnya dengan nada reflektif.
🕊️ Restorative Justice: Jalan Tengah untuk Keadilan Sosial
Menurut Habiburokhman, konsep restorative justice sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Prinsip ini telah lama hidup dalam nilai-nilai hukum adat di berbagai daerah, termasuk dalam Qanun di Provinsi Aceh.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia tradisional terbiasa menyelesaikan persoalan sosial secara kekeluargaan, tanpa perlu melibatkan aparat penegak hukum.
“Kalau masalah interaksi masyarakat, apalagi hanya ITE, ujaran, atau perkelahian pemuda, zaman dulu jarang yang sampai ke kepolisian. Kedua belah pihak biasanya berbicara lewat keluarga besar, malah dari berkelahi bisa jadi saudara,” katanya.
Pola penyelesaian seperti ini, menurutnya, justru lebih membangun harmoni sosial dan mencegah permusuhan berkepanjangan antarwarga.
📜 Integrasi Restorative Justice dalam Revisi KUHAP
Dalam konteks revisi KUHAP yang tengah digodok, Habiburokhman memastikan bahwa nilai-nilai keadilan restoratif akan dieksplorasi lebih jauh. Tujuannya adalah agar sistem hukum nasional lebih fleksibel, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia.
“Kita ingin nilai-nilai baik dari hukum adat dan budaya kita masuk ke dalam norma hukum nasional. Supaya tidak semua pelanggaran langsung dibawa ke pengadilan,” tegasnya.
Dengan begitu, aparat penegak hukum dapat memiliki dasar yang kuat untuk menyelesaikan kasus ringan melalui mediasi atau perdamaian, tanpa harus menempuh proses hukum yang panjang dan membebani.
🧩 Dampak Sosial dan Pentingnya Empati Hukum
Habiburokhman juga menyoroti perlunya empati dalam penerapan hukum. Menurutnya, ketika penegakan hukum dilakukan secara kaku, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, hasilnya sering kali justru merugikan masyarakat kecil.
Kasus seperti guru mencubit murid, anak muda berkelahi, atau komentar ringan di media sosial semestinya dapat diselesaikan secara dialogis dan edukatif.
“Bukan berarti pelanggaran dibiarkan, tapi penyelesaiannya bisa dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi,” tambahnya.
Ia pun berharap aparat kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan dapat memperkuat pendekatan ini dalam penanganan perkara sehari-hari. Restorative justice, menurutnya, bukan hanya efisien, tapi juga memperkuat rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
🕊️ Kesimpulan: Membangun Hukum yang Lebih Bijak dan Berperikemanusiaan
Pernyataan Habiburokhman mencerminkan upaya DPR RI untuk mendorong reformasi hukum yang lebih humanis dan berpihak pada masyarakat. Dengan penguatan konsep restorative justice, diharapkan hukum Indonesia tidak hanya menegakkan keadilan secara formal, tetapi juga mengedepankan nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan sosial.
Sebagaimana ditegaskan Habiburokhman, “Tidak semua yang salah harus masuk pengadilan — yang penting, ada keadilan yang hidup di masyarakat.”