
Mantan Ketua DPR RI sekaligus terpidana kasus korupsi KTP elektronik, Setya Novanto, resmi bebas bersyarat. Keputusan ini menimbulkan reaksi beragam dari publik, terutama karena kasus e-KTP yang melibatkan dirinya merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Salah satu suara keras datang dari Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman. Ia menilai kebebasan Setnov terlalu dini, apalagi ada dugaan kuat keterlibatannya dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Boyamin menyebut kasus TPPU Setnov sempat ditangani oleh Bareskrim Polri, tetapi hingga kini kelanjutan proses hukumnya masih belum jelas.
Respons KPK
Menanggapi hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan berkoordinasi dengan Polri terkait dugaan TPPU yang menyeret nama Setya Novanto. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep, menegaskan pihaknya akan menggali informasi dari Deputi Koordinasi dan Supervisi (Korsup) mengenai perkembangan penanganan perkara tersebut di Bareskrim.
“Terkait dengan perkara TPPU saudara SN yang hari ini bebas, karena penanganannya ada di Bareskrim, kami akan berkoordinasi untuk meminta informasi lebih lanjut,” ujar Asep, Selasa (19/8/2025).
PK yang Dikabulkan Mahkamah Agung
Selain kabar bebas bersyarat, publik juga digegerkan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dari Setya Novanto. Dalam putusannya, MA memangkas hukuman Setnov dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.
Tidak hanya itu, denda pidana juga dipangkas menjadi Rp500 juta, subsider enam bulan kurungan. MA tetap membebankan pembayaran uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS, dikurangi Rp5 miliar yang sebelumnya sudah disetor oleh Novanto. Sisa uang pengganti sekitar Rp49 miliar wajib dibayar, jika tidak maka diganti dengan kurungan dua tahun.
Selain itu, MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Setnov untuk menduduki jabatan publik selama dua tahun enam bulan setelah masa hukuman selesai.
Perjalanan Kasus Setya Novanto
Kasus korupsi e-KTP sendiri bermula dari tahun anggaran 2011–2013. Pada April 2018, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Setnov 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta serta uang pengganti 7,3 juta dolar AS.
Vonis itu sejatinya lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta 16 tahun penjara plus denda Rp1 miliar dan uang pengganti senilai 7,435 juta dolar AS. Meski demikian, Setnov saat itu menerima vonis tanpa mengajukan banding. Baru pada 2019, melalui kuasa hukumnya, ia mengajukan PK yang kemudian dikabulkan MA pada Juni 2025.
Kontroversi Publik
Kebebasan bersyarat Setnov dan pemangkasan hukumannya menimbulkan kritik keras. Banyak pihak menilai putusan tersebut mencederai rasa keadilan, terutama bagi masyarakat yang berharap hukuman bagi koruptor bisa menimbulkan efek jera.
Apalagi, dugaan keterlibatan Setnov dalam kasus TPPU hingga kini belum mendapat kepastian hukum. Hal inilah yang mendorong KPK untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Polri agar kasus tersebut tidak tenggelam begitu saja.
Penutup
Kasus Setya Novanto menjadi cermin bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal konsistensi dan keberanian untuk menindak tegas kasus korupsi. Publik menunggu langkah nyata KPK dan Polri untuk memastikan kasus dugaan TPPU Setnov tidak berhenti di tengah jalan, agar keadilan benar-benar ditegakkan.
Refrence : Liputan6