easydigestiverelief.com

Kebijakan Tarif Trump Ancam Dunia Usaha Rp19.000 Triliun

Bagikan

Kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pelaku bisnis global. Menurut laporan S&P Global, total biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan pada tahun ini diperkirakan mencapai USD 1,2 triliun atau sekitar Rp19.868 triliun (asumsi kurs Rp16.556 per dolar AS). Sebagian besar beban ini, pada akhirnya, akan dialihkan kepada konsumen.

Beban Tarif Meluas ke Rantai Pasokan

Dalam laporan resminya, S&P menjelaskan bahwa proyeksi tersebut masih tergolong konservatif. Estimasi ini dihimpun dari data 15.000 analis di 9.000 perusahaan yang berkontribusi dalam riset dan indeks mereka.
Daniel Sandberg, penulis laporan S&P, menyebut bahwa tekanan ekonomi akibat kebijakan tarif Trump bersifat luas. “Tarif dan hambatan perdagangan bertindak seperti pajak pada rantai pasokan global, mengalihkan dana ke pemerintah dan memperburuk biaya logistik serta pengiriman,” ujarnya, dikutip dari CNBC, Minggu (19/10/2025).

Kebijakan Tarif 10% untuk Semua Impor

Sejak April 2025, Trump telah memberlakukan tarif 10% untuk seluruh barang impor ke Amerika Serikat, serta tarif “timbal balik” terhadap puluhan negara lain.
Langkah ini diikuti oleh penyesuaian bea masuk terhadap berbagai produk, termasuk mobil, kayu, hingga perlengkapan rumah tangga seperti lemari dapur. Gedung Putih menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi industri dalam negeri dan menekan defisit perdagangan, meski dampak ekonominya kini mulai terasa luas.

Kebijakan Tarif Trump Ancam Dunia Usaha Rp19.000 Triliun

Konsumen Turut Menanggung Dampak

Menurut analisis S&P, hanya sekitar sepertiga beban tarif yang benar-benar ditanggung oleh perusahaan. Sisanya, sekitar dua pertiga, akan dialihkan kepada konsumen melalui kenaikan harga barang.
Perhitungan konservatif memperkirakan total kerugian mencapai USD 907 miliar bagi perusahaan yang terdaftar di bursa, sedangkan sisanya dirasakan oleh entitas swasta, seperti perusahaan modal ventura dan ekuitas pribadi.

“Dengan output riil yang menurun, konsumen kini membayar lebih untuk jumlah barang yang lebih sedikit,” tulis Sandberg bersama analis senior Drew Bowers dalam laporan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa beban sebenarnya pada masyarakat kemungkinan lebih besar dari estimasi awal.

Dampak Terhadap Kebijakan dan Politik

Kebijakan tarif ini juga menjadi perhatian bagi Gedung Putih dan Federal Reserve. Pemerintah berpendapat bahwa meski rakyat Amerika mungkin menghadapi masa transisi sulit, beban tarif pada akhirnya akan ditanggung oleh eksportir asing.
Namun, pandangan ini diperdebatkan oleh para analis dan ekonom, yang menilai efek tarif justru menekan daya beli masyarakat serta menurunkan margin keuntungan perusahaan.

S&P memperkirakan margin laba perusahaan akan menyusut 64 basis poin pada tahun 2025, kemudian turun menjadi 28 basis poin pada 2026, dan berlanjut menurun hingga kisaran 8–10 basis poin pada 2027–2028. Artinya, profitabilitas dunia usaha kemungkinan terus melemah seiring berlanjutnya kebijakan tarif.

Pencabutan Aturan “De Minimis” Jadi Titik Balik

Salah satu langkah paling kontroversial dari kebijakan ini adalah pencabutan pengecualian de minimis pada Mei 2025. Aturan ini sebelumnya memungkinkan barang bernilai di bawah USD 800 untuk lolos dari bea masuk. Namun, kini pengecualian tersebut dihapus dengan alasan tidak relevan secara politis.
S&P menyebut pencabutan aturan ini sebagai “titik balik nyata” yang memperluas cakupan tarif, terutama pada barang kecil bernilai rendah. Dampaknya terlihat dalam laporan pendapatan perusahaan dan data logistik yang menunjukkan lonjakan biaya pengiriman.


Kesimpulan

Kebijakan tarif Trump bukan hanya berdampak pada hubungan perdagangan global, tetapi juga menimbulkan tekanan besar bagi dunia usaha dan konsumen. Dengan potensi beban mencapai Rp19.000 triliun, kebijakan ini menjadi ujian bagi stabilitas ekonomi global dan daya beli masyarakat Amerika.
Apabila tren ini berlanjut, tahun-tahun mendatang bisa menjadi periode penting dalam menilai efektivitas strategi ekonomi berbasis proteksionisme yang diterapkan oleh pemerintahan Trump.

Refrence : Liputan6
Exit mobile version