Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Ombudsman RI menemukan fakta mengejutkan terkait praktik rangkap jabatan di lembaga publik. Berdasarkan data tahun 2020, tercatat 564 pejabat merangkap jabatan, terdiri dari 397 komisaris BUMN dan 167 komisaris anak perusahaan.
Menurut Plt. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Aminudin, permasalahan ini semakin serius karena 49% pejabat yang duduk di posisi tersebut tidak memiliki kompetensi teknis yang sesuai, sementara 32% lainnya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Temuan ini menunjukkan lemahnya pengawasan, rendahnya profesionalitas, dan adanya risiko rangkap pendapatan yang mencederai rasa keadilan publik,” tegas Aminudin, Kamis (18/9/2025).
Putusan MK Jadi Momentum Perubahan
Situasi ini kemudian diperkuat dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang secara tegas melarang wakil menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris BUMN/swasta, atau pimpinan organisasi yang didanai APBN/APBD.
KPK menyambut putusan ini sebagai kabar baik karena menjadi dasar hukum yang kuat untuk menutup celah rangkap jabatan. Melalui payung hukum tersebut, KPK kini melakukan kajian mendalam guna memperkuat tata kelola publik dan mencegah potensi korupsi.
Harapan Adanya Peraturan Presiden
Aminudin menekankan bahwa KPK berharap Presiden Prabowo Subianto segera menerbitkan aturan tegas. Bentuk regulasi itu bisa berupa Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur secara detail definisi rangkap jabatan, ruang lingkup, daftar larangan, hingga sanksi atas konflik kepentingan.
“Kami mendorong lahirnya aturan presisi yang mampu mengunci praktik rangkap jabatan, sekaligus menjaga integritas pejabat publik,” ujarnya.
Urgensi Reformasi Tata Kelola Publik
Putusan MK dinilai mempertegas pentingnya pembenahan. Dengan aturan jelas, pejabat publik bisa lebih fokus menjalankan tugas utama mereka, bukan terbagi karena rangkap posisi.
Menurut Aminudin, kajian yang dilakukan KPK akan menghasilkan rekomendasi valid untuk memperbaiki sistem, etika, dan profesionalitas di lingkup eksekutif, baik bagi ASN, TNI, Polri, kementerian, maupun lembaga non-kementerian.
Kajian ini dilakukan sejak Juni hingga Desember 2025 dan akan berlanjut pada 2026. KPK melibatkan Kementerian PANRB, Ombudsman, Kementerian BUMN, dan LAN, serta pakar etika pemerintahan, akademisi, hingga praktisi antikorupsi untuk memberi masukan.
Lima Usulan Penting KPK
Dalam kajian tersebut, KPK menyampaikan lima usulan utama sebagai langkah konkret mencegah rangkap jabatan:
-
Peraturan Presiden/PP yang jelas terkait definisi, ruang lingkup, larangan, dan sanksi rangkap jabatan.
-
Sinkronisasi regulasi dengan UU BUMN, UU Pelayanan Publik, UU ASN, dan aturan lain yang relevan.
-
Reformasi sistem remunerasi dengan gaji tunggal (single salary) untuk mencegah pendapatan ganda.
-
Pembentukan Komite Remunerasi Independen di BUMN atau lembaga publik demi transparansi dan perbaikan skema pensiun.
-
SOP investigasi konflik kepentingan sesuai standar OECD agar bisa dijalankan secara konsisten oleh inspektorat dan pengawas internal BUMN.
Kesimpulan
Kasus rangkap jabatan terbukti membuka ruang konflik kepentingan, merusak profesionalitas, bahkan menjadi celah korupsi. KPK menegaskan pentingnya langkah tegas dari pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, untuk segera menerbitkan aturan yang mampu menutup praktik ini.
Dengan dukungan regulasi kuat, diharapkan tata kelola publik Indonesia menjadi lebih transparan, profesional, dan berintegritas tinggi.
Refrence : Liputan6