Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Pada Kamis, 17 Juli 2025, empat pejabat tinggi Kemenaker hadir di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.
Empat nama yang dipanggil antara lain Suhartono, mantan Dirjen Binapenta & Perluasan Kesempatan Kerja periode 2020–2023, Haryanto, Dirjen aktif dan eks Direktur PPTKA 2019–2024, Wisnu Pramono, Direktur PPTKA 2017–2019, serta Devi Anggraeni yang menjabat posisi tersebut sejak 2024. Pemeriksaan ini dilakukan terkait penyelidikan korupsi dalam proses penerbitan dokumen RPTKA yang wajib dimiliki oleh TKA untuk bekerja secara legal di Indonesia.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa pemeriksaan ini bagian dari langkah serius dalam mengungkap praktik pungutan liar yang terstruktur dan sistematis selama bertahun-tahun. Kasus ini sudah menyeret total delapan tersangka, termasuk aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kemenaker.
Rp53,7 Miliar Terkumpul dari Pemerasan
Menurut hasil penyelidikan, dalam rentang waktu 2019 hingga 2024, para tersangka diduga telah memeras agen tenaga kerja asing yang mengajukan RPTKA, dengan total uang mencapai Rp53,7 miliar. Dokumen RPTKA merupakan syarat penting agar izin tinggal dan kerja TKA bisa diproses. Jika izin tersebut tertunda, perusahaan dapat dikenakan denda sebesar Rp1 juta per hari, yang menjadi celah pemerasan oleh oknum di dalam Kemenaker.
Modusnya, pemohon yang menyetor sejumlah uang akan diprioritaskan dalam proses verifikasi dan wawancara. Sementara pemohon yang tidak membayar akan dibuat kesulitan bahkan terhambat tanpa alasan jelas. Sistem ini berjalan dengan arahan dari pejabat tinggi dan dieksekusi oleh verifikator yang telah ditunjuk.
Dugaan Keterlibatan Puluhan Pegawai
Selain delapan tersangka utama, KPK menduga ada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA yang turut menikmati aliran dana korupsi tersebut. Jumlah yang dinikmati bersama untuk berbagai kegiatan internal seperti konsumsi dan operasional non-anggaran disebut mencapai Rp8,95 miliar.
Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, menjelaskan bahwa dana haram tersebut juga sempat mengalir ke staf harian dan office boy (OB). Bahkan, sebagian dari mereka sudah mengembalikan dana kurang lebih Rp5 miliar yang sempat diterima.
“Dana digunakan untuk kebutuhan internal seperti makan siang bersama atau kegiatan di luar yang tidak tercatat secara resmi,” ujar Budi.
Kasus Berawal Sejak Era Cak Imin
Fakta lain yang mencuat adalah bahwa praktik korupsi pengurusan TKA ini sudah terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) saat menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 2009–2014, lalu berlanjut ke era Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah. Artinya, budaya pemerasan ini telah berlangsung lintas pemerintahan dan menandakan masalah sistemik di Kemenaker.
Langkah Lanjutan KPK
KPK menegaskan bahwa penyidikan akan terus berjalan dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka bertambah. Lembaga antirasuah ini juga akan menelusuri aliran dana ke pihak lain di luar Direktorat PPTKA, termasuk potensi kerugian negara serta pengembalian aset.
Praktik semacam ini mencoreng wajah pelayanan publik dan memberikan tekanan besar terhadap dunia usaha yang mengandalkan pekerja asing secara legal. Diharapkan kasus ini menjadi peringatan keras bahwa pemerasan birokrasi tidak akan ditoleransi.
Refrence : Liputan6