Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tengah mengkaji ulang kemungkinan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ia menilai, setiap penurunan tarif 1% berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp70 triliun. Karena itu, Purbaya memilih berhati-hati dan memastikan langkah tersebut tidak berdampak negatif pada stabilitas fiskal.
“Waktu di luar saya bilang turunkan ke 8%, tapi begitu menjabat, saya sadar setiap 1% turun bisa hilang Rp70 triliun,” ujar Purbaya Yudhi Sadewa, dikutip dari Antara (29/10/2025).
Saat ini, fokus utama Kementerian Keuangan adalah memperbaiki sistem penerimaan pajak dan bea cukai. Setelah perbaikan sistem berjalan optimal, evaluasi terhadap tarif PPN akan dilakukan kembali, terutama pada triwulan II tahun 2026.

📊 Evaluasi dan Perhitungan Dampak Ekonomi
Purbaya menyampaikan, ia akan mengevaluasi rencana penurunan tarif PPN pada akhir triwulan pertama 2026. Langkah ini dilakukan untuk menilai dampak terhadap penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.
“Mungkin akhir triwulan pertama saya sudah lihat. Dari situ, saya bisa ukur potensi sebenarnya. Kalau saya hitung kurangnya berapa, dampak ekonominya juga bisa dihitung,” jelasnya.
Meskipun rencana penurunan tarif sudah tercatat dalam rancangan kebijakan, Purbaya menegaskan bahwa keputusan tersebut tidak bisa diambil tergesa-gesa. “Saya baru dua bulan menjabat, belum bisa langsung putuskan. Harus hati-hati,” tambahnya.
⚖️ Pendekatan Hati-hati dan Rasional
Mantan Ketua LPS ini menegaskan bahwa setiap keputusan fiskal harus melalui perhitungan matang. Ia menolak anggapan bahwa dirinya akan bertindak nekat seperti “koboi” dalam mengambil kebijakan pajak.
“Kelihatannya memang tegas, tapi sebenarnya saya sangat berhati-hati. Kalau salah langkah, defisit bisa di atas 3%, padahal itu sudah kami hitung secara detail,” tegasnya.
Sebelumnya, dalam konferensi pers APBN KiTa (14/10), Purbaya Yudhi Sadewa sempat membuka peluang untuk menurunkan tarif PPN sebagai bagian dari strategi menjaga daya beli masyarakat.
💸 Kebijakan PPN dan Kondisi Terkini
Sebagai informasi, tarif PPN di Indonesia sebelumnya naik dari 10% menjadi 11% pada April 2022 sesuai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Berdasarkan beleid tersebut, tarif semestinya meningkat lagi menjadi 12% pada awal 2025. Namun, Presiden Prabowo Subianto memutuskan bahwa tarif 12% hanya berlaku untuk barang mewah (PPnBM), sementara barang umum tetap di 11%.
📉 Pertumbuhan Ekonomi dan Tantangan Pengangguran
Selain isu pajak, Purbaya juga menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5% masih belum cukup untuk menekan pengangguran. Menurutnya, laju pertumbuhan tersebut hanya mampu menciptakan lapangan kerja di sektor informal.
“Kalau 5% itu tidak cukup untuk menyerap tenaga kerja baru di sektor formal. Kita ingin warga negara bekerja di sektor formal agar kesejahteraan meningkat,” ujar Purbaya Yudhi Sadewa dalam Sarasehan 100 Ekonom INDEF (28/10/2025).
Untuk mengatasi hal itu, Purbaya Yudhi Sadewa menilai Indonesia perlu tumbuh minimal 6,7% agar mampu menampung seluruh angkatan kerja baru di sektor formal.
🚀 Kunci Pertumbuhan Ada di Sektor Swasta
Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tinggi terletak pada penguatan sektor swasta. Dengan dorongan investasi dan industri produktif, pertumbuhan 6% hingga 6,7% dianggap realistis.
“Kita harus ciptakan pertumbuhan yang lebih cepat. Untuk menyerap tenaga kerja formal, kita perlu tumbuh di kisaran 6,7%,” tegasnya.
Dengan pendekatan yang hati-hati namun visioner, Purbaya Yudhi Sadewa berupaya menyeimbangkan antara kebijakan fiskal yang sehat dan kebutuhan ekonomi masyarakat — termasuk potensi penurunan tarif PPN yang tetap berorientasi pada pertumbuhan berkelanjutan.