Kerja sama Indonesia dan Norwegia dalam pendanaan iklim kini memasuki fase penting. Norwegia telah menyalurkan dukungan lebih dari US$432 juta atau setara Rp7,08 triliun melalui skema Result-Based Contribution (RBC), sebagai bentuk penghargaan atas capaian Indonesia dalam menurunkan emisi dan menjaga hutan.

Nilai tersebut mencerminkan kemitraan strategis kedua negara yang diakui sebagai salah satu model pendanaan iklim paling progresif di tingkat global. Skema RBC menempatkan hasil nyata sebagai dasar utama pencairan dana, bukan sekadar bantuan konvensional.
Indonesia memegang peran krusial dalam stabilitas iklim dunia. Dengan tutupan hutan hujan tropis lebih dari 10 persen dari total hutan tropis global, Indonesia menjadi salah satu penopang utama keseimbangan iklim, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Hutan di Kalimantan, Sumatera, Papua, serta kawasan mangrove terluas di dunia berfungsi sebagai penyerap karbon dalam skala besar.
Dilansir dari Kabarsdgs.com, Rabu (17/12/2025), berbagai penelitian menyebutkan bahwa hutan Indonesia berperan sebagai global climate stabilizer karena kemampuannya menyerap miliaran ton karbon dioksida sekaligus mengatur pola iklim regional.
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia berhasil menekan laju kehilangan hutan hingga mencapai titik terendah. Capaian inilah yang menjadi dasar utama bagi Norwegia untuk menyalurkan pembayaran berbasis hasil, bukan bantuan bersifat hibah biasa. Setiap dana RBC yang diterima Indonesia hanya diberikan setelah penurunan emisi diverifikasi oleh lembaga independen dan dapat diaudit secara transparan.
Pendekatan ini sejalan dengan kebijakan Norwegia yang hanya mendukung negara dengan capaian penurunan emisi yang terukur dan terbukti. Karena itu, Indonesia menjadi salah satu mitra utama dalam portofolio pendanaan iklim global Norwegia.
Realisasi Pembayaran RBC dan Alokasi Dana
Masih mengutip Kabarsdgs.com, skema RBC mencakup pembayaran untuk penurunan emisi periode 2016–2017 sebesar US$56 juta yang disalurkan pada 2020, setelah Indonesia berhasil menurunkan emisi sebesar 11,2 juta ton CO₂e.
Selanjutnya, pembayaran gabungan senilai US$100 juta untuk periode 2017–2019 disalurkan pada 2024, disusul pembayaran US$60 juta untuk periode 2019–2020 pada Desember 2024. Pembayaran tersebut menjadi pengakuan atas keberhasilan Indonesia menekan deforestasi lanjutan.

Kemitraan ini diperpanjang hingga 2030 dengan komitmen hibah sebesar US$216 juta guna mendukung strategi FOLU Net Sink 2030, yang menargetkan sektor kehutanan menjadi penyerap karbon bersih sebelum akhir dekade.
Komitmen besar Norwegia juga didorong oleh posisi Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar kedua di dunia, dengan cadangan karbon mencapai sekitar 13 miliar ton, terutama di lahan gambut.
Pendekatan Berbasis Hasil yang Terverifikasi
Model pay for performance dinilai lebih efektif karena pembayaran hanya dilakukan setelah penurunan emisi diverifikasi. Kebijakan Norwegian International Climate and Forest Initiative (NICFI) sejak 2008 memang difokuskan pada negara-negara pemilik hutan tropis.
Dari sisi ekonomi iklim, pencegahan kerusakan hutan dinilai jauh lebih murah dibanding menanggung dampak krisis iklim di masa depan. Dana RBC tidak langsung masuk ke kas negara, melainkan dikelola melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Dana tersebut dialokasikan untuk perlindungan hutan primer, restorasi gambut dan mangrove, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, penguatan peran masyarakat adat, pemantauan deforestasi, serta implementasi agenda FOLU Net Sink 2030.
Kerja sama ini sempat terhenti pada 2021 akibat polemik pembayaran. Namun, pada 12 September 2022, Indonesia dan Norwegia menandatangani kemitraan baru yang sepenuhnya berbasis hasil. Sejak saat itu, aliran pendanaan kembali berjalan dengan nilai yang meningkat, menandai babak baru kolaborasi strategis dalam menghadapi krisis iklim global.
Refrence : Liputan6