
Aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, tengah menjadi sorotan tajam publik dan pemerintah. Di tengah pesona alamnya yang mendunia, kehadiran tambang di pulau-pulau kecil menimbulkan kekhawatiran besar terhadap kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang serius.
Empat perusahaan utama yang terlibat dalam penambangan di kawasan ini adalah PT Gag Nikel (GN), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Mereka beroperasi di pulau-pulau kecil dengan status konservasi tinggi seperti Pulau Gag, Manuran, Kawe, Batang Pele, dan Manyaifun.
🔍 1. Peninjauan Perizinan PT Gag Nikel
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, mengonfirmasi bahwa PT Gag Nikel memiliki izin lengkap—mulai dari IUP, AMDAL, hingga IPPKH. Perusahaan ini beroperasi di Pulau Gag dengan status kawasan hutan lindung.
Namun, Hanif menyoroti dampak lingkungan berupa sedimentasi yang menutupi koral, yang merupakan ekosistem penting di kawasan tersebut. Meski pelanggaran dinilai berskala ringan, kementerian tetap akan melakukan kajian ulang persetujuan lingkungan, karena sensitivitas ekosistem Raja Ampat sangat tinggi.
🏝️ 2. Dugaan Kerusakan oleh PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
Di Pulau Manuran, PT ASP dituding menyebabkan kerusakan ekologis serius. Menteri Hanif bahkan meminta Bupati Raja Ampat mencabut izin lingkungan perusahaan ini. ASP disebut tidak memiliki kemampuan memadai dalam menangani dampak pencemaran yang ditimbulkannya.
Lokasi pertambangan ini berdekatan dengan Pulau Waigeo, yang tergolong dalam Kawasan Suaka Alam (KSA)—area yang seharusnya steril dari kegiatan industri ekstraktif. ASP beroperasi berdasarkan izin yang diterbitkan tahun 2006, tetapi dokumennya belum tercatat di Kementerian Lingkungan Hidup.
⚠️ 3. Pelanggaran PT KSM dan PT MRP
Menteri Hanif juga menyoroti pelanggaran izin lingkungan oleh PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang beroperasi di Pulau Kawe. Meskipun memiliki IUP dan IPPKH, pemerintah pusat meminta agar izin lingkungan perusahaan ditinjau kembali karena aktivitasnya berpotensi merusak kawasan konservasi.
Sementara itu, PT MRP sudah memulai eksplorasi di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele meski belum memiliki izin lingkungan lengkap. Perusahaan ini bahkan telah memetakan 10 titik pengeboran dan telah dihentikan sementara oleh Kementerian LH.
⚖️ 4. Jalur Hukum Jadi Opsi Serius
Pemerintah tidak tinggal diam. Menteri Hanif menyatakan bahwa langkah hukum bisa ditempuh bila ditemukan pelanggaran berat dalam operasi tambang-tambang tersebut. Saat ini pihak kementerian sedang melakukan pemetaan dan kajian mendalam, termasuk potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Konservasi.
“Kami akan segerakan langkah hukum jika ditemukan bukti pelanggaran serius,” ujar Hanif dalam konferensi pers di Jakarta.
🧾 5. Status dan Legalitas Perusahaan Tambang
Perusahaan dengan izin pusat:
-
PT Gag Nikel: Mengantongi KK Generasi VII seluas 13.136 Ha hingga 2047.
-
PT ASP: Memiliki IUP Produksi 1.173 Ha di Manuran, izin berlaku hingga 2034.
Perusahaan berizin dari daerah:
-
PT MRP: IUP di Pulau Batang Pele seluas 2.193 Ha hingga 2033. Belum memiliki dokumen lingkungan.
-
PT KSM: IUP seluas 5.922 Ha di Kawe, produksi dimulai 2023, namun saat ini nonaktif.
-
PT Nurham: IUP 3.000 Ha di Pulau Waegeo hingga 2033. Belum mulai berproduksi.
🌿 Kesimpulan
Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil yang masuk kawasan hutan dan konservasi jelas bertentangan dengan semangat pelestarian alam.
Meskipun beberapa perusahaan memiliki izin resmi, pelaksanaan di lapangan menunjukkan adanya celah dalam pengawasan dan penegakan aturan. Pemerintah perlu bertindak cepat dan tegas demi menjaga kelestarian Raja Ampat, agar tidak hanya menjadi cerita keindahan yang tinggal kenangan.
Refrence : Liputan6